Lencana Facebook

Rabu, 07 November 2018

(Batu Hitam Kemilau Cahaya Tauhid) Sebuah Surat kabar Turki terbitan 1875 disaat pecah perang antara Atjeh dan Belanda, menceritakan bahwa tahun 1516 telah terjalin persahabatan dengan Atjeh. Diawali Sultan Firman Syah dari Dinasti Darul-Kamal menghubungi Siman Pasya, Wazir dari Sultan Salim I masa menjabat khalifah (1512-1520 M). Semenjak masa itulah hubungan antara Atjeh dan Turki Utsmani terjalin baik. Selain dengan Turki, Atjeh juga membangun kerja sama dalam bidang perdagangan dan militer dengan Kesultanan Islam di India, negeri-negeri Arab, dan beberapa kesultanan di Jawa. Dari catatan sejarah, perkampungan (gampong) di Bitai didirikan oleh pasukan Turki yang diutus ke Atjeh untuk menyebarkan agama dipimpin oleh Muthalib Ghazi bin Mustafa Ghazi. Nama Bitai ditambalkan pasukan Turki untuk mengenang asal mereka dari Bayt AL Maqdis, nama lain dari Yerussalem tempat Masjid Al Aqsa di Palestina dan HTI berasal, di gampong itu Sultan Iskandar Muda pernah menjadi murid Teungku di Bitai. Turki juga membantu persenjataan kepada kesultanan Atjeh untuk melawan pejajah Belanda. Merujuk catatan sejarah yang lain, Sultan Salahuddin Ibn Ali Malik az Zahir merupakan putra sulung Sultan Mughayat Syah dari Dinasti Meukuta Alam. Denys Lombard dalam buku Kerajaan Atjeh menyebutkan Sultan Salahuddin memerintah sejak 1528 hingga 1539. Masih menurut Lombard, Sultan Salahuddin ini wafat pada 25 November 1548. Sultan Salahuddin berteman dengan Muthalib Ghazi utusan Khalifah Salim I. Setelah Sultan Salahuddin mangkat dimakamkan pada Kompleks Pemakaman Tuanku Tengku di Bitai, begitulah Muthalib Ghazi mewasiatkan agar setelah dirinya nanti meninggalkan dunia fana dapat dikubur bersebelahan dengan Sultan. Pada tahun 1564, Sultan Suleiman I menjadi khalifah (1520-1566) menerima utusan dari Kesultanan Atjeh, yang meminta bantuan melawan Portugis. Maka ekspedisi Utsmaniyah ke Atjeh diluncurkan dan berhasil memberikan dukungan militer terhadap Atjeh Sumber Portugis menyebutkan pula bahwa pertengahan abad ke-16 (sekitar tahun 1540 M) Atjeh telah mengadakan hubungan dengan Turkey. Pinto, adalah seorang petualang Portugis menyebutkan bahwa Atjeh telah mendapat sumbangan dari Turkey yaitu sebanyak 300 orang ahli, bantuan tersebut dibawa oleh kapal Atjeh sebanyak 4 buah yang sengaja datang ke Turkey untuk mendapatkan alat-alat senjata dan pembangunan. Selama abad ke-16 dan ke-17 terjadi pertukaran, baik dagang maupun diplomatik dan budaya antara Istanbul dengan Atjeh. Utusan Atjeh yang ke Konstantinopel pada tahun 1562 M yang dikirim oleh Sultan Alau Addin Riayat Syah Al Qahar membawa serta hadiah-hadiah berupa emas, rempah-rempah dan lada. Perutusan Atjeh itu dapat dikatakan berhasil karena suatu keputusan khalifah sebelumnya, dan Sultan Selim II menjabat khalifah (1566-1574 M) bertanggal 16 Rabiul Awal 975 atau 20 September 1567, berisi penyambutan positif atas permintaan sultan Atjeh yang dibawa oleh wazirnya bernama Husin. Dari pertemuan Husin dengan Selim II diketahui betapa besarnya tekad kaum muslimin di kepulauan Nusantara untuk mengusir kafir Portugis. Pihak Turkey bersedia mengirim bantuan kepada Atjeh, berupa dua buah kapal perang dan 500 orang tenaga berkebangsaan Turki untuk mengelola kapal-kapal itu. Di antara 500 orang Turkey itu juga terdapat ahli-ahli militer yang dapat membuat kapal-kapal perang baik ukuran besar maupun kecil dan meriam berukuran besar. Selain itu, pihak Turki juga memberikan sejumlah meriam berat beserta perlengkapan militer dan pendirian Akademi kemiliteran Mahad Baitul Maqdits di Atjeh. Laksamana Turkey Kurt Oglu Hizir diserahi tugas untuk memimpin ekspedisi tersebut dengan tugas khusus mengganyang musuh Atjeh, mempertahankan agama Islam dan merampas benteng-benteng musuh. Keumalahayati setelah merampungkan pendidikannya di pesantren lalu melanjutkan pendidikannya di dunia kemaritiman dalam bidang ilmu kelautan di sekolah Baital Maqdis. Keumalahayati adalah putri Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya bernama Muhammad Said Syah saudara Sultan Salahuddin. Dilahirkan tahun 1560, pada masa Sultan Alau Addin Riayat Syah al-Qahar yang memerintah Kesultanan Aceh. Laksamana Muda Ibrahim merupakan salah seorang bawahan mendiang Laksamana Mahmud Syah adalah Suami Keumalahayati, berserta dirinya ikut pula memperkuat barisan armada Atjeh ketika melakukan penyerbuan terhadap Portugis di Malaka. Sepeninggal suaminya, Keumalahayati mengkomandani terbentuk armada yang terdiri dari para janda yang suaminya gugur dalam pertempuran melawan bangsa Portugis. Armada pasukannya diberi nama Inong Balee atau Armada Perempuan Janda. Laksamana Malahayati kemudian memimpin langsung 2.000 orang pasukan Inong Balee. Pangkalannya berada di Teluk Lamreh, Krueng Raya, Atjeh. Ada 100 kapal perang dengan kapasitas 400-500 orang. Tiap kapal perang dilengkapi dengan meriam. Bahkan, kapal paling besar dilengkapi lima meriam. Laksamana Malahayati juga membangun benteng yang dinamai Benteng Inong Balee bersama pasukannya. Karier militer Laksamana Malahayati terus menanjak hingga ia menduduki jabatan tertinggi di Angkatan Laut Kesultanan Atjeh kala itu. Sebagaimana layaknya para pemimpin, Laksamana Malahayati ikut bertempur di garis depan melawan kekuatan Portugal dan Belanda yang hendak menguasai jalur laut Selat Malaka. Reputasi Malahayati sebagai diplomat dan penjaga pintu gerbang kesultanan Atjeh, membuat Inggris yang hendak masuk ke wilayah Atjeh lebih memilih untuk menempuh jalan damai dan James Lancaster yang membawa surat dari Ratu Elizabeth I menemuinya, sebelum sampai pada Sultan Atjeh dalam keinginan mereka membuka jalan bagi Inggris menuju Jawa dan membuka pos dagang di Banten. *Penulis Dwi Kirana LS,. Pemerhati PEKaMas (Pendidikan Ekonomi Kesehatan atas Masyarakat) tinggal di Jember

Tidak ada komentar:

Posting Komentar